Kamis, 22 Agustus 2019

Bagian 2 : MENEGUHKAN ISLAM NUSANTARA (Halaman 113-116)



KANG SAID DAN ISLAM NUSANTARA
  1. Kang Said menegaskan bahwa Islam Indonesia tidak harus seperti Islam di kawasan Arab dan Timur Tengah, Islam di Timur Tengah yang berwajah ekstrim dengan simbol-simbol khas padang pasir, dengan memakai gamis dan cadar. Islam Nusantara, dalam penegasan Kang Said, adalah Islam yang khas Indonesia, yang mengapresiasi kebudayaan-kebudayaan setempat. Kang Said mencontohkan, bahwa zaman Walisongo merupakan periode penting dalam strategi Islam Nusantara. Pada masa Walisongo, terjadi perpaduan harmonis antara tradisi lokal dengan ajaran Islam. Adanya tradisi sesajen yang dianut oleh nenek moyang warga muslim di Indonesia, diwarisi dari ajaran Hindu-Budha. Akan tetapi oleh Walisongo, sesajen kemudian disempurnakan dengan diberi do’a-do’a penting, serta diluruskan niatnya untuk bersedekah, inilah gambaran sejuk dari dakwah model Islam Nusantara, yang tidak menggunakan kekerasan ataupun langsung melarang sesajen, akan tetapi menginternalisasi agar larut dalam dimensi batin Islam Nusantara.
  2. Strategi cerdas Walisongo yang mentransformasikan sesajen dengan menjadi tradisi Slametan, merupakan wajah ramah yang dicontohkan Islam Nusantara. Bila pada awalnya, sesajen diniatkan untuk mempersembahkan makanan kepada roh-roh ghaib, tidak demikian dengan tradisi slametan. Dalam tradisi ini, makan yang disajikan justru diberikan kepada tetangga dan warga muslim untuk dido’akan agar mendapatkan keberkahan bersama. Usai dido’akan bersama, makanan sesaji yang menjadi ubo-rampe slametan kemudian dibagikan untuk dinikmati bersama. Inilah tradisi indah ala Walisongo dalam wujud transformasi tradisi sesajen, menjadi slametan yang khas Islam Nusantara.
  3. Kang Said mengisahkan, bahwa “tradisi sesajen diganti dengan slametan, sesajen kan untuk usir roh jahat, Kalau slametan, masyarakat diajak makan bersama. Untuk kemudian minta mendo’akan agar yang mengadakan slametan ini selamat dunia akhirat” ungkap Kang Said, yang merupakan tokoh berpengaruh versi Republika 2012 lalu.
  4. Menurut Kang Said, kondisi unik semacam ini, hanya ditemukan di Indonesia, karena sejarah Indonesia yang sejak zaman dahulu sudah hidup dengan keragaman adat istiadat, Dalam pandangan Kang Said, Pendekatan dan strategi untuk mendamaikan serta menyandingkan antara tradisi lokal dan nilai islam, inilah yang merupakan karakter khas Islam Nusantara. “Cara pendekatan budaya, inilah yang kita namakan dengan Islam Nusantara” –Islam Nusantara Jadu Kekhasan Muslim Indonesia, Republika, 10 Maret 2015
  5. Meski demikian, beberapa ulama yang terhimpun dalam lingkaran Walisongo juga piawai menghimpun strategi militer. Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) merupakan salah satu ulama yang cerdas dalam berdiplomasi dan mahir menggunakan strategi militer. Beliau mengamankan wilayah Jawa Bagian Barat dan mendirikan Kerajaan Banten, Strategi Politik dan Milter Sunan Gunung Jati diakui dalam dimensi politik Nusantara, Pada masa itu. Di sisi lain, Sunan Kudus (syaikh Ja’far Shodiq) juga mahir dalam berpolitik dan menerapkan strategi pertahanan untuk Kerajaan Demak Bintara. Dikisahkan, Sunan Kudus menjadi ahli perang dan jenderal yang mampu menjaga keseimbangan politik di kawasan Jawa pesisiran. Akan tetapi, Strategi dakwah Sunan Kudus juga sangat khas dengan nilai lokal. Monumen menara Kudus menjadi bukti bahwa Sunan Kudus sangat peka dengan nilai budaya orang hindu. Sunan Kudus juga melarang keluarga dan santri-santrinya untuk menyembelih sapi yang merupakan hewan persembahan bagi orang Hindu, Bahkan sampai sekarang orang Kudus menjaga tradisi ini dengan tidak menyembelih sapi. Untuk merawat ajaran Sunan Kudus dan menghormati orang-orang Hindu yang pernah bermukim di kawasan lereng muria. Karakter khas Islam Nusantara yang dipraktekan oleh Walisongo, inilah yang menjadi karakter utama dalam membangun konsep epistemik Islam Nusantara di masa kini. (Oleh : Ahmad Saepudin)

1 komentar: